Evolusi Manajemen Investasi Global dan Dampaknya Terhadap Nilai Tukar dan Pembangunan Negara - Lab Forex

Analisa Fundamental, Tehnikal. All About Forex

Breaking

Minggu, 04 Oktober 2015

Evolusi Manajemen Investasi Global dan Dampaknya Terhadap Nilai Tukar dan Pembangunan Negara


Sejalan dengan era pasar bebas dan perkembangan perdagangan komoditi dipasar global maka para investor global tidak lagi hanya menggunakan suku bunga dan inflasi sebagai dasar dalam perhitungan prospect investasinya akan tetapi sudah berubah dengan menggunakan laju appresiasi/depresiasi antar mata uang sebagai dasar utama dalam penentuan sasaran investasi globalnya.
Evolusi ini tidak bisa disangkal lagi sebagai akibat laju appresiasi/depresiasi antar mata uang sudah melebihi dari laju suku bunga atau kupon dari surat-surat berharga dan laju dividend payout dari saham-saham yang diperdagangkan. Pertumbuhan perdagangan surat-surat berharga, saham serta komoditi lainnya yang diperdagangankan di dalam satu negara secara bebas telah jauh melampauhi pertumbuhan perdagangan barang dan jasa. 
Jika transaksi perdagangan barang dan jasa global saat ini sekitar $ 30.00 trillion sementara transaksi nilai tukar sudah mencapai $ 1300.00 trillion setahun. Dan jika transaksi perdagangan barang dan jasa global dikurangi maka sekitar $ 1270.00 trillion setahun adalah transaksi surat-surat berharga, saham dan komoditi lainnya.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia bahwa transaksi surat-surat berharga, saham dan komoditi lainnya yang mengakibatkan tukar menukar mata uang dengan investor global sudah jauh lebih besar daripada transaksi perdagangan ekport dan import untuk barang dan jasa. 
Evolusi perdagangan diatas mengakibatkan pergerakan mata uang dipasar sudah dipengaruhi oleh transaksi perdagangan surat-surat berharga, saham dan komoditas serta sejenisnya sementara pengaruh perdagangan barang dan jasa global menjadi diabaikan. Sehingga seluruh teori-teori nilai tukar yang masih dipelajari di dalam dunia akademis sudah “kedaluarsa dan sudah layak dibuang” digantikan dengan teori-teori terbaru yang telah diuji setelah era pasar bebas dimulai.
Laju appresiasi/depresiasi nilai tukar bisa terjadi antara 10 % sampai 25 % dalam setahun dan bahkan bisa lebih sementara suku bunga hanya berkisar 0.00 % sampai 15 % sehingga para investor global mengejar investasi ke negara-negara yang mata uangnya menguat atau terappresiasi untuk mencari keuntungan dari dua sumber yaitu dari (1) laju appresiasi ditambah (2a) kupon atas surat-surat berharga atau (2b) capital gain dari saham-saham.
Pada saat dimana mata uang sedang menguat/terappresiasi maka para penjual saham dan surat-surat berharga berpeluang menawarkannya dengan harga “at premium” akan tetapi yield-nya atau financial internal rate of return (FIRR) masih layak untuk dibeli dan perdagangan ini mengakibatkan adanya transaksi tukar-menukar mata uang yang justru lebih menambah appresiasi mata uang saham dan surat-surat berharga yang diperdagangkan. 
Proses ini terjadi secara terus-menerus sepangjang mata uang surat-surat berharga dan saham masih mengalami appresiasi walaupun suku bunga diturunkan. Pada saat suku bungapun “diturunkan oleh bank sentral” para investor global masih akan mengejar saham-saham dengan asumsi bahwa penurunan suku bunga akan meningkatkan free-cash flow dan memperbaiki debt service coverage ratio (DSCR) atau cash-flow capacity to service debt obligation dues dan meningkatkan dividend payout yang mendongkrak harga saham dipasar dalam jangka pendek dan panjang. 
Pada saat suku bungapun “dinaikkan oleh bank sentral” para investor global justru semakin mengejar surat-surat berharga sepanjang mata uangnya masih mengalami appresiasi dimana kenaikan suku bunga menjadi keuntungan tambahan dan pada saat suku bunga dinaikkanpun para investor masih akan tetap mengejar saham-saham kendatipun free-cash flow akan tertekan yang akan menekan debt service coverage ratio (DSCR) dan dividend payout expectation akan tetapi masih mempunyai peluang untuk capital gain. 
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sepanjang mata uang masih mengalami laju appresiasi maka para investor global akan memburu surat-surat berharga dan saham yang mengakibatkan “capital inflow”.
Akan tetapi perlu dipahami bahwa capital inflow diatas adalah sebagai akibat dari laju appresiasi mata uang sehingga bisa berbalik setiap saat tergantung “peralihan prospek investasi”. Semua negara pada umumnya berlomba dan bersaing untuk membangun warga negara-nya untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan meningkatkan human development index (HDI) dan income (GDP/kapita) serta memperkuat pemerintahannya. 
Antar negara berpacu ada yang terdepan dan ada yang mengikuti serta ada yang ketinggalan dan ada pula yang tertinggal. Para globa investor pun mempelajari perkembangan setiap negara dan membandingkan antar negara dan terhadap negara dimana sedang berjalan investasi-nya.
Jika hasil kajian investasi menunjukkan bahwa prospek investasi di negara dimana sedang berjalan investasi masih memberikan keuntungan yang lebih maka investasinya akan tetap dipertahankan. Namun jika hasil kajian menunjukkan bahwa prospek investasi di negara yang baru justru lebih menguntungkan maka terjadilah “peralihan prospek investasi”.
Peralihan prospek investasi mengakibatkan para investor global mulai melakukan liquidasi atau aksi jual atas surat-surat berharga dan saham yang dimilikinya dan mengakibatkan terjadi kembali tukar-menukar antar mata uang dengan menekan mata uang surat-surat berharga dan saham. Dalam keadaan seperti ini umumnya surat-surat berharga akhirnya diperjual belikan dengan harga “at discount”. Akibatnya mata uang surat-surat berharga dan saham mulai melemah sebagai akibat aksi jual dari para investor global. 
Jika bank sentral menyikapinya dengan menaikkan suku bunga untuk meredam para investor global melakukan liquidasi akan berakibat para investor global melakukan liquidasi dari saham-saham dengan pertimbangan bahwa dinaikkannya suku bunga akan menekan free cash flow dan cash flow capacity to service debt obligation due atau debt service coverage ratio (DSCR) yang menekan dividend yield serta dividend payout yang pada gilirannya menekan harga-harga saham sehingga mata uang tetap akan melemah dan dengan pertimbangan tersebut para investor global juga tetap akan melakukan liquidasi atau aksi jual secara terus menerus dari surat-surat berharganya. Proses ini terjadi secara terus-menerus dan mengakibatkan mata uang surat-surat berharga dan saham menjadi melemah atau terdepresiasi secara tajam. Proses ini mengakibatkan terjadinya “capital outflow”.
Dari kedua proses capital inflow dan capital outflow diatas maka dapat disimpulkan bahwa keduanya terjadi sebagai proses peralihan prospek investasi dari satu negara ke negara lainnya atau dari satu wilayah ekonomi ke wilayah ekonomi lainnya sebagai akibat perbedaan prospek keuntungan investasi yang didasarkan terhadap laju appresiasi/depresiasi. 
Akibatnya capital outflow terjadi dari negara yang sudah berada di “mature growth” baik sebagai negara berkembang atau negara maju ke negara yang memasuki “initial growth” baik sebagai negara berkembang atau negara maju. Dengan demikian bukan hal yang tidak wajar jika terjadi capital flow “dari negara berkembang ke negara maju” dan atau “dari negara maju ke negara berkembang” ataupun “antar negara berkembang” dan atau “antar negara maju” sebagai akibat peralihan prospek investasi.
Untuk menentukan prospek investasi dari satu negara maka para investor global melakukan pengkajian terhadap masing-masing negara baik secara langsung atau melalui lembaga-lembaga pemeringkat seperti S&P, Moody, EIU dan lainnya. Pada saat dimana para investor global akan melakukan investasi mereka juga mempelajari berbagai resiko negara yang disebut dengan “country risks” yang terdiri dari i) resiko ekonomi, ii) resiko politik, iii) resiko keuangan, iv) resiko perpajakan, v) resiko hukum, vi) resiko keamanan dan vii) resiko penyelenggaraan negara. 
Ketujuh resiko ini mempunyai bobot yang sama dalam matrix country risk. Meningkatnya salah satu komponen resiko ini dapat mengakibatkan capital outflow demikian juga membaiknya salah satu komponen resiko tersebut dapat mendorong capital inflow. Dampak dari country risk sangat luas terhadap satu negara dan bahkan menjadi dasar dalam pertimbangan perdagangan, pariwisata, pinjaman meminjam, perasuransian dan lain sebagainya.
Contohnya, prospek investasi di Cina, Thailand dan Indonesia memiliki prospek keuntungan yang sama akan tetapi resiko negara Indonesia berada lebih tinggi daripada Cina dan Thailand maka para investor global akan mengutamakan melakukan investasi di Cina dan Thailand daripada Indonesia. Atau prospek keuntungan investasi di Amerika dan Jepang sama akan tetapi resiko negara Amerika sedang lebih tinggi maka para investor global akan melakukan investasi di Jepang.
Capital inflow menjadi sumber permodalan dan kredit dalam mendorong meningkatkan pembangunan sebuah negara akan tetapi capital outflow menjadi tantangan terhadap perekonomian suatu negara sehingga kemampuan sebuah negara untuk tetap mempertahankan pembangunan negaranya untuk mempunyai prospek investasi yang lebih besar dari negara lainnya akan menahan laju capital outflow dari negara tersebut.
Pembangunan sebuah negara membutuhkan empat modal utama yang terdiri dari a) modal sumber daya manusia (human capital), b) modal sumberdaya teknologi (man-made capital), c) modal sosial (social capital) dan d) modal keuangan (financial capital). Dari keempat modal utama tersebut modal keuangan (financial capital) menjadi modal yang paling penting untuk membangun modal sumberdaya manusia, membangun atau memobilisasi tehnologi dan pembangunan sosial. 
Pembangunan yang hanya mengandalkan kemampuan sumber keuangan dan kredit dari dalam negeri tidak akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi sehingga capital inflow berperan sebagai sumber keuangan luar negeri untuk mendukung sumber keuangan dalam negeri (modal dan kredit luar negeri + modal dan kredit dalam negeri) untuk memacu pembangunan negara. Sehingga capital inflow yang dapat dipertahankan secara terus-menerus akan mendukung pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Para investor global saat ini memiliki keuangan yang dikelola dalam investasi global sebesar $ 300.00 trilliun yang dimiliki oleh negara-negara maju khususnya Jepang, Amerika dan Eropa. Ke $ 300.00 trilliun ini dikelola dalam bentuk surat-surat berharga, saham dan komoditi lainnya diberbagai negara sesuai dengan prospek investasi yang ada di negara tujuan investasi. Berbagai negara berupaya melakukan reformasi kebijakan ekonomi, politik dan keuangan serta kebijakan lainnya untuk memperbaiki resiko negara-nya untuk menarik sumber permodalan tersebut dalam rangka mendongkrak pembangunan negara-nya untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara-nya.
Salah satu negara yang cukup berhasil menarik permodalan tersebut adalah Cina dengan laju capital inflow tahun demi tahun semakin membesar sejak tahun 1990 yang dipergunakan untuk membangun ekonominya dan meningkatkan kesejahteraan warga negara-nya.
GDP Cina tumbuh dari sekitar $ 1.00 trilliun pada tahun 1990 menjadi $ 10.00 trilliun pada tahun 2015. Yang paling menarik adalah dengan jumlah penduduk Cina yang tumbuh dari sekitar 1.10 milliar jiwa pada tahun 1990 menjadi 1.37 milliar jiwa pada tahun 2015 kesejahteraannya dapat dibangun dengan pertumbuhan GDP/kapita sebesar $ 500 pada tahun 1990 menjadi $ 3,900 pada tahun 2015. Kini Cina menjadi investor terbesar terhadap surat-surat berharga AS sementara mata uang Yuan Cina telah dimasukkan sebagai co-partner Yen Jepang dalam struktur keuangan global.
Johanes L. Sitanggang's photo.

Johanes L. Sitanggang's photo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar