Brexit dan Dampaknya - Lab Forex

Analisa Fundamental, Tehnikal. All About Forex

Breaking

Rabu, 24 Februari 2016

Brexit dan Dampaknya

DINNA WISNU, PhD 
Pengamat Hubungan Internasional, 
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy 
@dinnawisnu


Brexit dan Dampaknya

Apakah Inggris akan memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa? Apa jadinya jika Inggris memilih keluar dari Uni Eropa? 

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Uni Eropa minggu lalu, dibahas keinginan Inggris untuk melakukan referendum demi menentukan apakah Inggris akan keluar dari Uni Eropa (istilahnya Brexit) atau tetap menjadi bagian dari Uni Eropa. Tanggal referendum telah ditetapkan 23 Juni 2016. Banyak pihak yang cukup terkejut juga bahwa Inggris benarbenar berniat melakukan referendum meninggalkan atau tetap di dalam Uni Eropa. 

Selama ini Uni Eropa dipandang sebagai sebuah kesatuan ekonomi-politik yang kompak dan homogen selalu menjadi pembanding dengan ASEAN yang dianggap lamban dan heterogen. Tuntutan referendum Inggris itu setidaknya menginformasikan bahwa Uni Eropa ternyata tidak sebulat seperti yang kita bayangkan. Pertanyaannya kemudian kenapa tahun ini, tidak tahun lalu atau tahun depan. 

Jawabannya tidak lain karena dinamika politik formal di dalam sistem politik Inggris dan menguatnya pandangan pesimisme Eropa atau Eurosceptic . Referendum tidak dapat dilakukan tahun lalu karena mereka baru selesai pemilihan parlemen dan perlu berbenah diri. Namun dalam kampanye pemilihan untuk kursi di Parlemen, Perdana Menteri (PM) Cameron sudah jauh-jauh hari mengatakan akan melakukan referendum untuk meninjau keberadaan Inggris di Uni Eropa. 

Apakah ini sepenuhnya keinginan PM Cameron dan Partai Konservatif? Tampaknya tidak. PM Cameron menyatakan bahwa ia akan berkampanye agar Inggris tetap di dalam Uni Eropa selama Uni Eropa menyetujui beberapa syarat yang akan saya bahas di bawah. Sikap mendua tersebut adalah cerminan dari menguatnya sebagian besar rakyat Inggris yang ingin keluar dari Uni Eropa. 

Dalam polling yang dilakukan oleh Lord Ashcroft menjelang pemilu 2014, terungkap bahwa 47% rakyat Inggris ingin hengkang dari Uni Eropa, 38% tetap berada di Uni Eropa, sementara 13% belum memutuskan. Hasrat itu juga yang melicinkan jalan UK Independent Party sebagai partai yang mendeklarasikan anti-Uni Eropa meraih kursi di Parlemen. 

Angka ini tampaknya belum berubah apabila mengikuti hasil polling dari YouGov yang menyatakan bahwa mereka yang memilih keluar ada 42%, sementara yang ingin tetap di Uni Eropa sebanyak 38%. Namun, sejumlah polling lain Ipsos-MORI and ComRes, menyatakan angka sebaliknya di mana yang ingin keluar dari EU hanya 36% dan yang tetap di dalam EU sebesar 51%. 

Perbedaan ini dapat terjadi mungkin karena faktor ”social desirability bias ”di mana responden menjawab sesuatu yang dianggap sesuai dengan arus yang kuat di dalam masyarakat (Matthew Godwin, 2016). Untuk sementara ini, kita simpulkan bahwa angka yang meminta Inggris keluar dari EU lebih mayoritas daripada yang tidak. 

Dan, data ini menunjukkanbahwamenguatnya nasionalisme rakyat akan identitas mereka sebagai warga Inggris. Menguatnya rasa nasionalis ini juga tidak lepas dari pertentangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya warga Inggris dan Skotlandia yang baru melakukan referendum tahun lalu. 

Sebagian besar warga Skotlandia yang ingin merdeka dari Inggris, adalah juga mereka yang setuju dengan keberadaan Uni Eropa dan ingin tetap berada di dalam Uni Eropa seandainya pada referendum kemarin mereka menang. Sebaliknya, sebagian besar warga Skotlandia yang ingin tetap berada di Persemakmuran Inggris juga lebih menyukai keluar dari Uni Eropa. 

Tim Oliver dari London Economic School juga mengatakan bahwa para politisi melihat Uni Eropa bukan sebagai pasar ekonomi yang memudahkan, tetapi sebaliknya justru yang menghambat kemajuan ekonomi Inggris. Uni Eropa menurut mereka tidak sama dengan ketika mereka bergabung di tahun 1970-an. 

Apabila Uni Eropa tidak berubah, masa depan Inggris juga diasumsikan tidak akan maju dan dampaknya peran Inggris di dunia internasional juga tidak bersinar. Masih belum terungkap jelas bagaimana perhitungan ”untung- rugi” pemerintah Inggris apabila mereka keluar dari Uni Eropa. Hal ini disebabkan walaupun mereka nantinya keluar, tidak mungkin Inggris meninggalkan pasar Eropa. 

Nilai ekspor Inggris ke negara-negara anggota EU, adalah paling besar yaitu sebesar 51,4% sementara impor hanya 6,6%. Melihat fakta tersebut, paling sedikit, Inggris harus melakukan negosiasi bila ingin menjadi European Free TradeArea(EFTA) atauEuropean Economic Area (EEA). Kelompok politik yang ingin tetap di Uni Eropa mengatakan bahwa bila Inggris jadi keluar namun tetap ingin bekerja sama dengan pasar Eropa, hal itu akan menjadikan Inggris bukan sebagai negara yang ikut memutuskan kebijakan tetapihanyamengikutikebijakan Eropa. 

Bagaimana dengan Eropa? Dari sisi politik, negara-negara anggota Uni Eropa masih mendua. Ada yang emosi dan berniat menghentikan rencana Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. Ada pula yang memilih untuk membuka ruang dialog dan mengeksplorasi segala kemungkinan. Namun dari sisi ekonomi, pasar beraksi negatif atas niat Brexit. Kemarin mata uang Inggris Poundsterling mencapai titik terendah terhadap dolar sejak 2009. 

Analisis menunjukkan bahwa jumlah mereka yang pro untuk keluar Uni Eropa kini relatif sama kuatnya dengan mereka yang ingin bertahan dalam Uni Eropa. Hal ini memunculkan ketidakpastian yang berimbas pada melemahnya poundsterling. Situasi ini berbeda dengan tahun lalu ketika ide referendum ini pertama terlontar dari PM Inggris David Cameron. 

Saat itu masih kuat terkesan bahwa mayoritas masyarakat Inggris akan memilih bertahan bersama Uni Eropa, meskipun tidak sedikit pula yang mengkritik kebijakan Uni Eropa. Satu keuntungan dan kerugian bagi Inggris yang mungkin juga berdampak positif dan negatif bagi Indonesia dan juga ASEAN adalah apabila referendum menghasilkan putusan untuk hengkang dari Uni Eropa. 

Dalam kondisi tersebut, yang terjadi adalah kemungkinan menguatnya perdagangan dan hubungan bilateral antara Inggris dengan negara-negara di Asia, termasuk ASEAN, tanpa perlu Uni Eropa turut campur. Hal ini tentu sangat menguntungkan perjanjian perdagangan yang telah dirintis oleh Inggris ke China, India, dan Amerika Serikat, dan juga ASEAN. Beberapa kasus lambannya perdagangan Uni Eropa-ASEAN antara lain disebabkan beberapa pasal yang terkait dengan situasi di Myanmar.

Inggris misalnya dapat membuat kesepakatan dagang dengan Indonesia soal sawit dengan standarnya sendiri yang mungkin lebih longgar dibandingkan dengan Uni Eropa. Namun demikian, juga timbul kerugian. Selama ini perdagangan dengan Eropa diuntungkan dengan pasar tunggalnya. 

Namun bila Inggris tidak terikat lagi secara hukum dengan Uni Eropa, investasi yang dilakukan di Inggris akan menjadi berat apabila berharap masuk ke negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Dengan kata lain, hubungan kita dengan Inggris tidak lagi dapat menjadi batu loncatan untuk masuk ke satu pasar Eropa.


Repost By Labforex

Tidak ada komentar:

Posting Komentar