Hubungan Antara Depresiasi Rupiah Dan PHK - Lab Forex

Analisa Fundamental, Tehnikal. All About Forex

Breaking

Senin, 14 September 2015

Hubungan Antara Depresiasi Rupiah Dan PHK

Seiring dengan makin parahnya depresiasi Rupiah akhir-akhir ini, sejumlah pihak mengklaim bahwa depresiasi Rupiah merupakan salah satu penyebab mengapa PHK merajalela. Benarkah demikian? Apa hubungannya antara Rupiah yang ambruk di level terendah dalam 17 tahun dengan pemutusan hubungan kerja? Artikel ini akan mengungkap latar belakang teoritis yang mengindikasikan relasi tersebut.
ilustrasi

Depresiasi Rupiah Vs Biaya Produksi

Kemerosotan nilai tukar suatu mata uang acap pula disebut dengan istilah 'depresiasi'. Ketika suatu mata uang mengalami depresiasi, maka hal itu pertama-tama akan berdampak pada ekspor dan impor. Ketika Rupiah terdepresiasi, misalnya, harga barang-barang impor meningkat karena nilai mata uang kita dibanding Dolar AS dan berbagai mata uang asing lainnya melorot. Jadi, pengguna barang impor harus membayar uang lebih besar untuk barang yang dibelinya. Padahal, sebagian dari barang yang diimpor Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur.
Dalam sebuah ulasan di situs Kementrian Perindustrian awal tahun ini disebutkan bahwa total impor barang modal pada tahun 2014 mencapai sekitar USD 34.22 miliar. Bahkan menurut Ketua Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) dalam ulasan yang sama, produksi lokal hanya menyumbang 10-15 persen saja dari kebutuhan barang modal. Ketergantungan pada mesin impor tersebut adalah akibat dari kapasitas produksi barang modal domestik yang belum bisa memenuhi permintaan dalam negeri.
Dalam kondisi seperti ini, dapat diproyeksikan bahwa depresiasi Rupiah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan dan mempersulit ekspansi. Terkait dengan mesin-mesin saja, misalnya, perusahaan yang akan memperbarui peralatan produksinya jadi harus mengeluarkan biaya lebih besar, apalagi untuk melakukan ekspansi seperti meningkatkan skala produksi, mendirikan pabrik baru, atau membuka lowongan.

Gaji Karyawan = Biaya Tenaga Kerja

Di sisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman (dimana sekarang bunga bank sedang tinggi-tingginya dengan BI rate pada 7.5 persen) dan upah karyawan. Patut diingat kembali pelajaran ekonomi jaman SMP kita bahwa faktor produksi pokok ada empat, yakni Tanah (SDA), SDM, Modal, dan Kewirausahaan, disamping juga beberapa faktor lain seperti teknologi. Ketika biaya yang harus ditanggung perusahaan untuk berproduksi naik, maka alternatif yang bisa dilakukan setidaknya ada dua: menaikkan harga barang yang dihasilkan (output) atau mengurangi biaya produksi dari unsur faktor produksi yang lain.
Faktor Produksi
Harga output bisa dinaikkan jika harga barang setelah kenaikan itu pun bisa diterima oleh konsumen di pasar dan permintaan akan barang itu tetap tinggi. Dalam kondisi normal, kenaikan harga barang di masyarakat toh biasanya ditoleransi. Namun sayangnya, di tahun 2015 ini Dunia tengah dilanda penurunan permintaan. Stagnasi dan perlambatan ekonomi di Jepang, China, dan Zona Euro (semuanya partner dagang utama Indonesia) telah mengakibatkan penurunan permintaan dari luar negeri. Sementara itu, permintaan domestik pun sedang tertekan karena harga berbagai jenis barang dan jasa meningkat.
Pemilik perusahaan tentunya tidak ingin mengurangi labanya sendiri, sedangkan harga tanah (jika menyewa) tentunya terus meningkat juga. Dalam hal ini, satu-satunya yang bisa dipangkas adalah biaya tenaga kerja. Artinya, perusahaan bisa jadi akan berhenti menaikkan gaji atau mengurangi bonus, atau malah memecat karyawan jika beban biaya produksi dinilai sudah terlalu tinggi sedangkan harga output tidak bisa dinaikkan lagi. Sementara rencana-rencana ekspansi perlu ditunda hingga kondisi ekonomi membaik, dan pembukaan lowongan kerja baru pun akan berkurang.

Ekspor-Impor

Ada yang mengatakan bahwa depresiasi Rupiah akan menguntungkan neraca dagang karena ekspor akan meningkat dan impor berkurang, sehingga industri domestik bisa berkembang. Namun, itu tidak berlaku bagi Indonesia saat ini. Salah satu sebabnya telah disebutkan tadi: permintaan dunia tengah merosot. Ketika permintaan memang merosot, maka bagaimana ekspor bisa meningkat? Apalagi harga-harga berbagai komoditas ekspor anjlok, sehingga pendapatan dari ekspor pun tentunya menurun. Sedangkan bagian dari impor Indonesia yang berupa barang modal, jika berkurang justru malah buruk bagi industri yang mengandalkan barang modal impor tadi.
Situasi ini bisa dilihat dari data-data neraca perdagangan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Sejak Desember 2014 hingga data terakhir bulan Juli 2015, neraca dagang selalu surplus. Namun demikian, ekspor menunjukkan tren menurun; tercatat sebesar 14,621.3 juta Dolar pada Desember 2014, tetapi hanya mencapai 11,408.5 pada bulan Juli 2015. Impor pun demikian. Pada Desember 2014 tercatat impor 14,434.5 juta Dolar, sedangkan bulan Juli 2015 hanya 10.076.5 juta Dolar. Tengoklah data-data tersebut dalam grafik garis, maka Anda akan melihat bahwa angka-angka ekspor dan impor itu merepresentasikan rekor terendah sejak tahun 2011.
Ekspor-Impor Indonesia
Data Ekspor (Atas) Dan Impor (Bawah) Indonesia Agustus 2014-Juli 2015

Proyeksi

Dalam jangka panjang, jika situasi ini terus menerus berlanjut tanpa solusi, maka bukan tidak mungkin mengarah pada resesi. Surplus neraca dagang pun pada suatu titik akan surut jika ekspor makin menipis. Sedangkan dari dalam negeri secara teoritis dapat diproyeksikan: makin banyak karyawan di-PHK, maka makin rendahlah daya beli masyarakat; ketika permintaan masyarakat makin susut, demikian pula perusahaan akan makin kesulitan untuk menjalankan maupun mengembangkan bisnisnya, sehingga makin banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Ini berpotensi jadi lingkaran setan.
Tentu saja, kesulitan yang dialami oleh dunia bisnis sekarang, berikut juga maraknya PHK, tidak hanya dikarenakan oleh depresiasi Rupiah saja. Banyak faktor yang ikut andil dan mempengaruhi perekonomian suatu negara. Untuk keluar dari situasi ini pun, semestinya banyak solusi yang bisa ditempuh.
Dari sisi pemerintah, penggiatan program pembangunan infrastruktur bisa menjadi salah satu opsi. Pembangunan infrastruktur secara luas selain bisa menyerap tenaga kerja juga bisa menopang permintaan domestik untuk sementara (dalam jangka pendek). Dari sisi masyarakat, upaya-upaya untuk menggiatkan usaha kecil menengah berbasis kearifan lokal atau berbasis teknologi (dotcom) bisa diberdayakan untuk meningkatkan aktivitas bisnis setempat dan menyerap tenaga kerja yang telah dipecat. Selain kedua alternatif itu, mungkin masih banyak solusi lain yang bisa dieksplor. Yang jelas, situasi saat ini tidak boleh didiamkan begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar