(Shabila Hidayati, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)
PERNAHKAH Anda membayangkan jika Anda dapat membayar tiket bioskop dengan harga Rp 50 rupiah? Bukan karena bioskop yang bangkrut atau banting harga, tetapi berkat redenominasi mata uang. Apa itu redenominasi? Jangan salah pemahaman, redenominasi berbeda dengan pemotongan mata uang. Redenominasi adalah usaha menyederhankan nilai mata uang sekaligus nilai suatu barang.
Redenominasi dimaksudkan agar penghitungan keuangan dalam urusan kenegaran maupun swasta terasa lebih ringan dan sederhana. Sedangkan sanering yaitu pemangkasan/pemotongan nilai mata uang yang tidak diikuti dengan penyederhanaan nilai suatu barang, sehingga menyebabkan daya beli rendah karena biaya yang terlalu terkesan mahal. Sederhananya, angka nol di mata uang rupiah akan dikurangi. Contohnya uang Rp 1.000 akan berubah menjadi Rp 1.
Berita dan pembahasan mengenai redenominasi rupiah ini sudah berkembang beberapa waktu lalu, dan cukup banyak menuai kontroversi. Tentunya, redenominasi tidak akan terwujud dalam waktu semalam. Paling tidak, ada tiga tahap pelaksanaan redenominasi Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Tahap pertama, Bank Indonesia (BI) harus melakukan komunikasi dan publikasi atas pelaksanaan redenominasi. BI akan memanfaatkan berbagai media seperti radio, televisi, media cetak, internet, materi tercetak, video khusus, hingga layanan telefon bebas pulsa.
Tahap kedua, akan ada pewajiban para pedagang mencantumkan dua harga yaitu yang lama dan yang baru. Langkah ini dilakukan pada enam bulan sebelum redenominasi sampai tiga tahun setelahnya. Ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat selama masa transisi.
Tahap ketiga, pelaksanaan penuh. Pelaksanaan penuh mulai dilaksanakan awal tahun. Tapi, sampai awal tahun 2015, redenominasi belum juga dilaksanakan. Dilakukan di awal tahun ditujukan agar mempermudah perusahaan maupun instansi mengingat periode merupakan awal dari pembukuan periode baru.
Redenominasi butuh jangka waktu untuk beradaptasi dengan mata uang yang baru. Maka dari itu, pemerintah Indonesia kalau memberlakukan redenominasi akan menetapkan bahwa uang lama masih tetap berlaku. Rupiah yang baru dilengkapi dengan label “baru” agar bias dibedakan dengan rupiah lama. Setelah semua rupiah lama ditarik dan dihentikan peredarannya, baru di tahun berikutnya, bangsa Indonesia sepenuhnya menggunakan rupiah yang sudah diredenominasi.
Dilematis Redenominasi
Sebenarnya, seberapa perlukah rupiah diredenominasi itu? Lalu, apa keuntungannya? Beberapa sumber mengatakan, jika redenominasi dinilai penting untuk mata uang rupiah. Tujuannya menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien serta kenyamanan dalam melakukan transaksi. Seperti yang kita ketahui, saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang cukup banyak. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan inefesiensi dalam transaksi ekonomi. Selain itu, redenominasi juga berfungsi menyetarakan ekonomi Indonesia dengan negara regional yang menggunakan mata uang dolar. Jadi kita dapat bertransaksi dengan lebih mudah.
Redenominasi rupiah bukan berarti tidak memiliki dampak negatif dengan potensi kekacauan kalau tidak diurus dengan baik. Paling tidak, sejauh ini ada 5 negara yang pernah gagal melaksanakan redenominasi mata uangnya: Rusia, Argentina, Brasil, Zimbabwe, dan Korea Utara. Bagaiman kasus di Indonesia? Redenominasi rupiah dapat menimbulkan kepanikan di masyarakat kalau pemerintah buru-buru melakukannya. Terlalu buru-burunya pemerintah melakukan redenominasi menyebabkan kurangnya waktu sosialisasi.
Masyarakat di luar kota besar yang kurang terjangkau media massa dan instansi keuangan, mungkin saja panik karena menyangka bahwa nilai uang mereka dipotong. Kepanikan tersebut bisa menyebabkan masyarakat mengonversi uang yang ada di tangan menjadi barang-barang kebutuhan. Permintaan barang menjadi tinggi. Ujungnya, redenominasi justru menjadi biang inflasi meroket. Selain itu, redenominasi juga dapat menimbulkan membesarnya potensi inflasi di masa depan secara psikologis. Terlalu terbiasa memegang uang dengan 3 digit nol, membuat masyarakat pasca redenominasi akan ‘menganggap remeh’ uang bernilai se-rupiahan. Hipotesisnya, pedagang relatif lebih mudah menaikkan harga, misalkan, dari Rp 1 ke Rp 2. Kalau sekarang menaikkan harga Rp 1000 bisa lebih dahulu ke angka Rp 1500, dsb.
Mengatasi dilema redenominasi
Adapun solusinya adalah mengganti dengan standar mata uang emas dan perak yang terbukti secara historis menciptakan kestabilan dan inflasi rendah yang terkendali. Lebih dari itu, Islam telah mewajibkan penggunaan mata uang emas dan perak sebagai jenis mata uang yang dijadikan sebagai mata uang resmi negara yang dijadikan sebagai alat transaksi dan tolak ukur barang dan jasa. Berbagai dalil syar’i secara tegas menunjukkan wajibnya penggunaan mata uang tersebut yaitu adanya larangan penimbunan (al-kanz) emas dan perak (QS: at-Taubah: 34) dan tidak pada harta lainnya; pengkaitan emas dan perak pada sejumlah hukum yang bersifat permanen seperti, pembayaran diyat dengan emas dan perak, penetapan kadar objek pencurian dengan emas yakni ¼ dinar emas.
Dalam proses pertukaran dan transaksi Rasulullah juga telah menetapkan (taqrir) emas dan perak sebagai mata uang. Ketika syara mewajibkan zakat uang maka ia dinisbahkan kepada emas dan perak dan kadarnya dengan ukuran emas dan perak serta hukum pertukaran mata uang selalu dikaitkan dengan emas dan perak. Dengan demikian, standar mata uang yang diperintahkan di dalam Islam adalah standar mata uang emas dan perak bukan mata uang kertas seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar